Makom Kyai Wilah Wilangan Kalimanah Purbalingga
Makam Adipati Wilah atau sering disebut Kyai Wilah terletak di wilayah barat daya kabupaten Purbalingga. Makam seorang sosok karismatis yang masih menyimpan misteri bagi banyak orang termasuk di sekitar areal pemakamannya di tengah persawahan antara dukuh Kedungwringin, Desa Karangjambe, Kecamatan Padamara dan dukuh Wilangan Desa Klapasawit Kecamatan Kalimanah. Kyai Wilah semasa hayatnya adalah mantan seorang Panglima perang dari Kadipaten Pasir Luhur. Ia menantu dari Adipati Pasir Luhur Raden Kandha Daha. Kadipaten Pasir Luhur terletak di wilayah Kelurahan Pasir, Tamansari dan sekitarnya kecamatan Karanglewas dan Kecamatan Purwokerto Barat.
Pasirluhur bukan daerah bawahan, baik Majapahit maupun Pajajaran. Berbeda dengan Kadipaten Wirasaba yang berkedudukan sebagai kerajaan bawahan atau daerah Majapahit. Beliau memiliki tubuh yang gagah perkasa, dan keberanian luar biasa, Kyai Wilah sering unggul dalam pertempuran. Banyak tanda jasa dan penghargaan yang ia terima.
Suatu waktu Adipati Kandha Daha menerima surat dari Adipati Bonjok (Rawalo) yang isinya adalah bentuk lamaran pada salah seorang putrinya yang ternyata sudah menjadi istri Kyai Wilah. Mengetahui surat tersebut, Kyai Wilah merasa terhina dan segera menemui Adipati Bonjok.
Mereka keduanya akhirnya bertempur, kuda Adipati Bonjok roboh terkena tombak Kyai Wilah sehingga menyulitkan tuannya menangkis serangan. Sementara Kyai Wilah sendiri juga terluka parah, sehingga pincang. Ditengah kondisi fisiknya yang tengah melemah, Kyai Wilah mendengar kabar jika jabatannya akan digantikan orang lain. Karena merasa malu, maka secara diam-diam Kyai Wilah melarikan diri ke Purbalingga bersama putrinya. Mereka menetap di dukuh Wilangan Klapasawit sampai akhir hayat mereka.
Sekitar tahun 1700-an berdirilah sebuah kadipaten di sisi selatan Gunung Slamet. Kadipaten Wilahan namanya dan Kyai Wilah sebagai adipatinya. Dalam menjalankan pemerintahannya Kyai Wilah memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga rakyat pada masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran
Kadipaten ini juga sempat menjadi pelarian tokoh Kerajaan Mataram Islam yang sedang terpecah antara Pangeran Mangkubumi dengan Kasultanan Yogyakarta. Akibat adanya dua kubu yang memperebutkan kekuasaan atas Kasultanan Mataram tersebut banyak kerabat keraton yang tidak menyukai pergolakan politik, lebih baik menyingkir dan keluar dari lingkungan keraton untuk tujuan menyiarkan agama Islam.
Keluarga Kasultanan Mataram yang menyingkir ke mancanegara kulon dan menetap di Kadipaten Wilahan adalah Syech Jangkung, R. Suryo Permana Sakti dan seorang ponggawa keraton dengan jabatan bekel yaitu Ki Probo Saketi. Tentu saja Adipati Wilah sangat bersuka cita, atas kedatangan ketiga bangsawan tersebut ke Kadipaten Wilahan. Ketiga bangsawan Kasultanan Mataram ini secara bergiliran mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para muridnya.
Para murid tidak hanya diajarkan ilmu – ilmu tauhid dan akhlak tetapi juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan. Di atas batu-batu Kali Ponggawa biasanya digunakan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama dan kanuragan.
Makam Kyai Wilah ini tidak jauh dari makam puterinya yaitu Mas Ajeng Lanjar. Berdekatan dengan makam Mas Ajeng Lanjar terdapat makam Kyai Yudantaka, kakak dari Kyai Arsantaka.