Suku Mijajaran Kaum Pengalasan Purbalingga

Purbalingga SN - Di perbatasan wilayah utara Purbalingga–Pemalang, Jawa Tengah terdapat gugusan bukit dengan bioma hutan hujan tropis yang membentang dari kaki Gunung Slamet hingga Dieng, Banjarnegara. Gugusan bukit tersebut lebih dikenal sebagai Perbukitan Zona Serayu Utara. Ada satu cerita rakyat yang masih menjadi misteri di sana. Masyarakat desa di sekitar perbukitan, seperti Desa Tundagan, Desa Sirongge, Kabupaten Pemalang, dan Desa Sirau, Jingkang, Panusupan, Kramat, Tunjungmuli, Tanalum, serta Gunungwuled, Kabupaten Purbalingga mengenal satu kelompok masyarakat khusus yang dinamakan Suku Carang Lembayung atau Suku Pejajaran (Pijajaran/Mijajaran). Keberadaannya belum terdokumentasikan dengan baik, tetapi ingatan warga masih lekat dengan perjumpaan yang kerap terjadi. Kesaksian warga bernada sama, anggota Suku Pejajaran tidak memiliki tumit atau berjalan jinjit dan tidak memiliki lekukan di atas bibir.
Salah satu warga desa tunjungmuli konon pernah menjadi sahabat ‘Wong Alas’ pada tahun1988 hajat namanya menjadi anak sakti yang dapat menyembuhkan penyakit dengan instan stiap hari ratusan masyarakat antri untuk minta di obati. “Warga mengatakan orang-orang Pejajaran memiliki daya linuwih, bisa berubah menjadi macan, menghilang, dan bisa mendatangkan mala jika membicarakan kebaradaan mereka”. Berawal saat sering silaturahmi di tempat mbah dasuki tunjungmuli sehingga sering mendengar banyak kisah tentang Wong Alas. “Pada tahun 2004 ketika kami di sana, warga Desa Tundagan bercerita bahwa pada hari raya Idul fitri tahun 2000, empat orang anggota Suku Carang Lembayung turun gunung menuju Kecamatan Watu Kumpul melalui desa Tundagan,” kata Taufik.
Empat orang tersebut dikerubuti anak-anak karena keunikannya yaitu tidak memiliki tumit. Lanjutnya, perjumpaan tidak sering terjadi, tetapi kadang mereka turun gunung terutama ke daerah utara hutan yaitu wilayah Pemalang untuk menjual kain putih di pasar.
Kejadian menjual kain putih ini (mori) yang menyebabkan kabar baru tersiar bahwa Wong Alas itu pemakan bangkai manusia, yaitu, dengan mencuri jenazah di kuburan, kemudian menjual kainnya di pasar. “Karena perjumpaan terjadi beberapa kali, warga mengenal nama mereka, entah nama asli atau warga memberi nama mereka, yaitu Kantong, Risno, dan San Klonang, yang berjenis kelamin laki-laki, serta Teplo/Tumplek yang berjenis kelamin perempuan,” ujarnya.
Saat kami di tempatnya mbah dasuki tujungmuli mbah dasuki, bercerita pada sekitar 1984 seorang perempuan dari Suku Pejajaran meninggal karena memakan umpan beracun untuk jebakan babi hutan. Jenazahnya ditemukan di dekat Kali Arus oleh Maryono (warga Desa Sirau, Purbalingga) dan kemudin jenazah tersebut dibawa oleh sesama wong alas lainnya masuk hutan. Beberapa hari kemudian, 35 ekor kambing milik warga Tundagan mati dalam jangka waktu satu malam. Di leher kambing itu terdapat semacam bekas gigitan. Warga menghubungkan kematian binatang ternak mereka dengan kematian satu anggota perempuan Suku Pejajaran. Mereka menduga “San Klonang marah”. “Karena kasus tersebut, warga merasa terancam, sebagian penduduk enggan bercerita perihal wong alas terutama menyebut nama San Klonang,” katanya.
Pada kisah lainnya, warga satu padukuhan di selatan Desa Sirongge (terletak di sebelah timur Desa Tundagan) yang dihuni beberapa kepala keluarga terpaksa pindah karena merasa takut dengan keberadaan “Wong Alas”. Peristiwa terjadi sekitar tahun 1978.
Saat itu, padukuhan mengundang dan mementaskan kesenian ronggeng. Saat pementasan berlangsung, sekitar tengah malam tiba-tiba jumlah penonton bertambah, tepat saat pemain Ronggeng menyanyikan lagu Ande-Ande Lumut. Masyarakat padukuhan yang mengenal betul setiap warganya curiga dengan para penonton baru ini. Setelah didekati ternyata mereka adalah wong alas yang datang ikut menonton. “Warga padukuhan itu ketakutan sehingga mereka memutuskan pindah ke bawah setelah kejadian ronggeng itu. Lagu ande-ande lumut juga dipercaya sebagai salah satu cara untuk memanggil wong alas keluar hutan,” kata mbah dasuki.
Pada cerita lainnya, mbah dasuki mendapatkan informasi di Dusun Karang Gintung, Desa Sirau, Kecamatan Karang Moncol, Purbalingga, Maryono seorang mantan polisi hutan setempat mempunyai kenalan atau hubungan dengan Wong Alas.
Bahkan, beberapa tahun yang lalu salah seorang anggota suku Carang Lembayung sempat tinggal cukup lama di rumah Maryono.“Saat itu, Pak Maryono yang hendak mengkhitankan anaknya memerintahkan wong alas berjenis kelamin perempuan untuk ngrumati ayam, ternyata yang dilakukannya adalah mencabuti bulu ayam sewaktu ayam masih hidup kemudian memakan dagingnya mentah-mentah,” katanya. Timsorot Nuswantoro menilai, semakin lama cerita mengenai Wong Alas yang awalnya adalah makhluk halus semakin kabur. Informasi yang menguatkan bahwa mereka merupakan manusia biasa, semakin banyak. Di tempat lain, Maryana dan Sunarto, warga Desa Sirau yang berprofesi sebagai pencari sarang semut rang-rang sekitar 2014 bertemu dengan anak kecil gundul di sungai dalam hutan. Anak itu sedang menangkap anggang-anggang dan kepiting lalu dimakan. Saat ditegur, anak itu lari ke semak-semak. Tak lama setelah kejadian, kedua orang itu kembali berpapasan dengan anak kecil di setapak dalam hutan, kembali anak itu lari masuk ke semak-semak. “Ada juga kisah penemuan mayat perempuan di dalam hutan, sebelah utara Gunung Kraton pada 2006 dan 2013 ditemukan mayat laki-laki di hutan Banowati,” imbuhnya