Warga Tolak Galian Tanah Merah Di Pagintungan, Pertanyakan Izin Dan Kompensasi

Warga Tolak Galian Tanah Merah Di Pagintungan, Pertanyakan Izin Dan Ko
26-Jul-2025 | sorotnuswantoro Serang,Banten

Serang, – Aktivitas galian tanah merah yang baru dibuka di Desa Pagintungan, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, menuai penolakan keras dari warga sekitar. Mereka menuding pihak pelaksana tambang tidak pernah meminta izin atau memberi pemberitahuan kepada masyarakat, meskipun lokasi tambang berada sangat dekat dengan permukiman di RT 17 dan RT 18 Kampung Cikasantren Sabrang Wetan.

Protes warga memuncak pada Kamis (24/7), saat sekitar 20 warga melakukan aksi penghentian langsung terhadap aktivitas penggalian di lapangan. Mereka menilai, selain tak berizin secara formal, galian tanah merah juga tidak disertai dengan kompensasi maupun bentuk tanggung jawab sosial dari pihak perusahaan.

“Jangankan izin ke warga, ngomong ke RT saja tidak ada,” kata Abah Sakmin, tokoh masyarakat setempat. Ia mengaku prihatin karena warga hanya tahu tambang sudah berjalan setelah melihat puluhan truk pengangkut tanah keluar masuk kampung mereka.

“Baru setelah dihentikan warga, muncul alasan kalau itu cuma ambil ‘sampel tanah’. Tapi masa sampel sampai puluhan mobil? Ini jelas membohongi warga,” tegasnya.

Ketua RT 17, Abah Usman, menambahkan bahwa masyarakat sudah terlalu sering dibodohi dengan janji kompensasi yang tidak pernah sampai ke tangan penerima manfaat. Kali ini, kata dia, warga tidak lagi menuntut uang, melainkan penutupan penuh terhadap tambang tanah merah yang dinilai merusak lingkungan dan berpotensi mencemari sumber air warga.

“Kami tidak butuh uang kompensasi, kami cuma ingin tambangnya ditutup. Itu saja,” ujarnya. Ia juga menyatakan bahwa masyarakat mendesak pemerintah Kabupaten Serang dan Pemerintah Provinsi Banten untuk turun tangan mengevaluasi izin dan dampak lingkungan galian tanah merah tersebut.

Kompensasi Galian Pasir Pernah Ada, tapi Dinilai Tidak Transparan

Sebagai latar belakang, sebelumnya wilayah tersebut juga menjadi lokasi galian pasir. Warga RT 17 mengaku selama aktivitas tambang pasir berlangsung, mereka hanya menerima bantuan material untuk pembangunan musala—berupa pasir, semen, dan keramik. Tidak pernah ada kompensasi uang tunai secara langsung kepada masyarakat.

Nama Darja alias Rombeng, yang disebut warga sebagai koordinator desa urusan tambang, mengakui bahwa dulu pernah ada kompensasi dari perusahaan tambang sebesar Rp 20 juta per bulan. Namun, menurutnya, sejak adanya pergantian kepemilikan perusahaan, dana tersebut tidak lagi diberikan melalui desa.

“Sekarang kompensasi langsung disalurkan ke masyarakat, bukan lewat desa,” klaim Darja saat dikonfirmasi.

Namun, pernyataan berbeda datang dari pihak perusahaan. Toni, yang mewakili perusahaan tambang, mengungkapkan bahwa kompensasi masih tetap berjalan, meskipun tidak sebesar sebelumnya. Ia menyatakan siap memberikan penjelasan lebih lanjut jika dipanggil oleh aparat penegak hukum (APH).

“Kalau nanti diminta keterangan resmi, saya siap jelaskan semuanya,” ujarnya singkat.

Perbedaan informasi antara pihak desa dan perusahaan ini menambah keraguan warga terhadap transparansi dan legalitas kegiatan tambang di desa mereka.

Warga kini menuntut penertiban seluruh aktivitas tambang, khususnya tanah merah, yang dinilai telah menyalahi prosedur, tidak transparan, dan mengabaikan hak-hak warga terdampak. (*)

Tags